Senin, 08 Desember 2008

Memilih tidak Memilih

MEMILIH TIDAK MEMILIH

Di Amerika Serikat semua warga antusias berpartisipasi dalam Pilpres 4 November 2008 lalu, artinya bahwa seluruh warga Amerika Serikat mendukung adanya perubahaan di Amerika, menggantungkan harapan pada presiden baru pilihan mereka yang berjanji dapat membawa mereka pada lembar baru kehidupan yang damai sejahtera. Hal ini berbanding terbalik dengan kondisi di Indonesia, sejarah telah memilih pemimpin muda Amerika, Barrack Husein Obama dengan janji perubahan bagi Amerika, bagaimana dengan Indonesia yang pemimpinnya juga selalu menjanjikan perubahan?
Pemilihan Presiden di awal tahun 2009 nanti menjadi seperti tidak penting bagi sebagian masyarakat, tetapi menjadi hal yang sangat penting bagi 44 partai yang akan ikut meramaikan Pemilu tahun depan. Kepentingan partai politik untuk mencari kekuasaan di negeri ini seperti sebuah kompetisi yang rutin diikuti tiap 4 tahun sekali.
Berbagai media massa digunakan partai-partai politik untuk beriklan, untuk membangun image partainya, membangun kesadaran (awareness) masyarakat bahwa partai tersebut ada untuk rakyat, mempersuasi masyarakat untuk memilih pada Pilpres 2009 dengan janji yang indah-indah, menyentuh dan membangun kesan peduli pada rakyat.
Itulah partai-partai di Indonesia, membuang banyak rupiah untuk menanamkan citra partai ke dalam benak masyarakat Indonesia, seperti iklan produk yang baru diluncurkan ke pasaran. Strategi politik melalui iklan partai di berbagai media bukannya berefek positif pada tingkat afeksi masyarakat, justru menimbulkan tanda tanya bagi banyak orang karena biaya untuk beriklan saja mahal bagaimana partai-partai tersebut akan mensejahterakan rakyatnya? Partai dapat terus hidup karena salah satu cara melalui suntikan dana dari para anggotanya yang sudah lebih dulu duduk di lembaga legislatif, dan mungkin saja di jajaran pemerintahan sendiri.
Di era ini teknologi sudah maju, media memberitakan segala informasi bagi masyarakat yang haus akan pengetahuan, masyarakat sudah semakin cerdas dan kritis, tidak bisa dibohongi lagi, sudah dapat mebedakan mana yang baik dan yang buruk. Kualitas partai dengan janji-janjinya di media sudah tidak menarik hati rakyat, yang penting bagi rakyat ialah hasil dari kerja mereka nantinya, apakah sungguh memikirkan rakyat atau hanya memikirkan kepentingan pribadi dan bahkan untuk tetap menjalankan roda kehidupan partainya saja. Kepercayaan adalah hal utama yang harus dibangun partai-partai politik untuk membangun negara secara sinergis, caranya adalah dengan melakukan tindakan-tindakan nyata semata-mata untuk kepentingan rakyat.
Hal inilah yang kemudian menjadi dasar munculnya golongan putih (golput). Rakyat yang kehilangan kepercayaan dan menganggap partai-partai politik dan anggotanya hanya mengatasnamakan kepentingan rakyat tetapi tidak melakukan tindakan yang dapat mensejahterakan rakyat memilih untuk tidak memilih salah satu partai pada Pilpres 2009 nanti. Rakyat menganggap jumlah partai yang mencapai 44 itu adalah lambang keegoisan beberapa kelompok kepentingan, bukanlah lambang demokrasi bangsa ini.
Rakyat yang semakin kritis dan mulai paham peta politik Indoesia dan memanfaatkan pemilu 2009 sebagai ajang protes atas ketidakadilan yang selama ini diterima, yaitu kebijakan yang tidak pro rakyat, mulai munculnya benih primordialisme di dalam bangsa Indonesia, terbongkarnya kasus-kasus korupsi yang ternyata justru banyak dilakukan oleh elit politik, kalah dalam Pilkada membuat kekacauan dan meresahkan masyarakat. Bagi rakyat pilihan menjadi golput diyakini adalah yang terbaik, namun apabila banyak golput pada Pilpres 2009 maka Pilpres menjadi tidak legitimatif, dan negara ini tidak akan berjalan dengan baik.
Fenomena ini seharusnya menjadi perhatian pemerintah dan partai politik. Partai-partai politik diharapkan dapat menjadikan isi alinea keempat dalam UUD 1945 sebagai pedoman dalam menjalankan tugas kepartaiannya. Partai politik sebagai jembatan komunikasi rakyat dengan pemerintah juga perlu mengubah pola pikir partai poltik dan seluruh anggotanya bahwa menjadi wakil rakyat adalah tugas mulia dan bukan menjadi ajang untuk memperkaya diri dari sisi materi.
Alangkah baiknya apabila negri ini dapat mengambil contoh Pemilu Amerika yang berjalan beberapa waktu lalu, ada banyak pelajaran yang dapat dijadikan acuan hidup bernegara bahwa berjuang bagi bangsanya adalah yang utama, kekalahan bukanlah menjadi tonggak lahirnya egoisme dan apatisme, kekalahan harus diakui dan diterima dengan lapang dada. Apabila para pemimpin dan para anggota parpol dapat berlaku demikan, niscaya rakyat tidak akan menjadi golput melainkan akan mendukung pemerintah dan partai politik untuk bersatu membangun negara ini.
Sejarah baru Amerika terjadi 4 November lalu dengan jumlah pemilih terbanyak dibanding pemilu-pemilu sebelumnya, apakah Indonesia juga akan membuat sejarah baru dengan jumlah golput terbanyak di Pemilu 2009?


Ditulis oleh:
Maria Endah Perwitasari
Jurusan Ilmu Komunikasi
FISIP UPN ”Veteran” Yogyakarta

Tidak ada komentar: