PERBANDINGAN KARIKATUR DI MEDIA CETAK ORDE LAMA
DAN REFORMASI
abstrak
”Era kebebasan pers Orde Lama bercirikan demokrasi yang bebas pula,bebas mengkritik kinerja pemerintah,bahkan kepemilikan media berada dibawah kuasa kelompok-kelompok tertentu yang berusaha menyetir negara sesuai ideologi yang dianut dan tidak tanggung menggambarkan peristiwa dengan karikatur yang berani tunjuk tokoh politik. Penggunaan ikon tokoh politik dalam karikatur yang menjadi pembeda dengan karikatur Era Reformasi yang sembunyi-sembunyi dan eufemisme. Karena menjadi lebih halus dan sembunyi-sembunyi maka karikatur Era Reformasi pun menggunakan perlambangan untuk mengungkapkan kritik terhadap suatu peristiwa yang sedang hangat diperbincangkan.”
kata kunci: karikatur, ikon, lambang
LATAR BELAKANG
Era Kebebasan Pers Indonesia
Indonesia adalah Negara demokrasi yang bisa dikatakan sangat demokratis dibanding negara-negara yang menganut ideologi tersebut. Sebelum era Orde Baru begitu terbuka kesempatan rakyat untuk menyampaikan aspirasi mereka kepada pemerintah, terlihat jelas ketika itu siapa pro pemerintah dan siapa lawan pemerintah.
Media massa, khususnya media cetak di masa Orde Lama dibawah kepemimpinan Ir. Soekarno juga begitu jelas, tegas mengulas dan menyampaikan segala informasi kepada masyarakat mengenai pemerintah, begitu pula sebaliknya pers menyampaikan aspirasi rakyat kepada pemerintah dengan apa adanya. Namun ketika itu media lebih difungsikan sebagai alat untuk menjatuhkan lawan politik yang duduk di pemerintahan oleh oposisi, secara terang-terangan media cetak dijadikan alat untuk menggugat pemerintah yang sedang berkuasa, sehingga tidak heran jika pada masa Orde Lama permusuhan begitu jelas tampak di Indonesia. Cara-cara yang digunakan pun beragam, entah itu dengan pembuktian fakta, artikel kritik tajam, dan bahkan kartun editorial atau karikatur. Media cetak khususnya, terbagi menjadi blok-blok yang pro partai-partai oposan maupun partai-partai pro pemerintah.
Era Kebungkaman Pers
Keadaan ini berbeda ketika muncul Dekrit Presiden 5 Juli 1959dan adanya Surat Perintah 11 Maret (SUPERSEMAR), sejak saat itulah kepemimpinan jatuh ke dalam kediktatoran seorang pemimpin Indonesia baru, Soeharto, dan eranya disebut era kepemimpinan Orde Baru. Era berganti, maka media tidak lagi memiliki posisi mengawasi dan mengkomunikasikan apa yang terjadi pada diri pemerintah dan masyarakat dipaksa untuk menuruti segala kebijakan pemerintah.
Media dibungkam, mereka takut untuk berbicara, sehingga muncul masyarakat yang dipaksa hidup dalam kebisuan. Tidak ditemukan lagi kritik tajam, sindiran, dan artikel yang menilai kinerja pemerintah, bahkan kartun pun mengalami penghalusan bahasa dan gambar. Pembredelan terjadi apabila ada media yang berani mengkritik kinerja pemerintah era Soeharto, yang muncul di media-media ketika itu adalah penghalusan-penghalusan bahasa, dan pujian-pujian yang dilamatkan kepada Presiden Soeharto.
Bahkan kartun editorial atau karikatur pun ikut terkena imbas pemerintahan otoriter ini. Kehalusan bahasa, sembunyi-sembunyi mengungkapkan suatu perisiwa menjadi ciri karikatur masa Orde Baru. Lebih sulit memahami karikatur tanpa melihat teks editorial, sehingga baru bisa dicerna setelah membaca keseluruhan isi editorial atau tajuk atau opini.
Era Reformasi
Keadaan itu menjadi sejarah kelam bagi kehidupan pers di Indonesia. Kini era Reformasi menggulingkan kekuasaan Orde Baru, media kembali menemukan jati dirinya sebagai pengawas pemerintah. Menjadi forum komunikasi antara masyarakat dan pemerintah, kedua pelaku komunkasi politik ini dapat saling mengawasi. Kritik bagi pemerintah boleh dikemukakan, usulan solusi permasalahan yang dihadapi pemerintah pun sangat baik dikemukakan di media cetak (khususnya), bahkan sindiran bagi kinerja pemerintah dalam berbagai bentuk tidak dilarang, karikatur yang notabene adalah humor kritik tidak dilarang. Malahan mampu mempertajam sindiran peristiwa-peristiwa yang sedang berkembang di masyarakat.
Sindiran tajam yang digunakan dalam karikatur saat ini lebih halus tapi mengena, sama halnya ketika era Orde Baru, namun semakin sopan cara memvisualisasikan suatu peristiwa kedalam karikatur, maka semakin nampak ketajaman analisis para karikaturis dalam menyikapi peristiwa, atau tokoh yang sedang tenar karena peristiwa tersebut.
Karikatur Di Media Cetak Indonesia
Berbicara masalah kartun yang didalamnya juga memuat karikatur, terjadi perubahan yang begitu besar dari teknik penggambarannya sejak Orde Lama hingga saat ini era Reformasi. Karikatur yang dimaksud adalah kartun-kartun yang menghiasi halaman editorial dan tajuk, sehingga biasa disebut kartun editorial.
Kartun editorial yang berisi kritik atau sindiran terhadap pemerintah yang mengandung unsur humor sehingga mampu membuat pembaca tersenyum atau disebut juga dengan political cartoon. Era pembaruan atau Reformasi, sindiran yang dialamatkan kepada pemerintah dalam bentuk gambar lebih halus dan cukup berhati-hati dibanding masa lalu yang masih menggunakan etika bahasa sarkastik, meskipun bentuk kritik yang halus pun tetap sama tajam dan kena sasaran.
“…permainan kartun ditujukan untuk golongan yang tinggal di perkotaan dan berpendidikan baik. Yang menonjol masa itu, berkias digunakan untuk memperkeras olokan. Sikap demikian berbeda dengan kartun masa matang Orde Baru, yang umumnya lebih sembunyi-sembunyi, elipsis, metafora samar, dan eufimisme. Sindiran kartun masa demokrasi parlementer sangat terbuka, tunjuk hidung, dan seringkali sinis.” (Sunarto,TEMPO, 17 Agustus 2007:108)
Kritik bagi pemerintah dari rakyat yang bertujuan agar pemerintah bekerja sebaik mungkin demi kesejahteraan rakyat, lebih mengena jika teks editorial juga divisualisasikan dengan gambar, yaitu dengan karikatur. Informasi bergambar lebih disukai masyarakat daripada informasi yang berbentuk tulisan, sebab melihat gambar jauh lebih mudah meskipun tanpa tulisan. Sebenarnya ini merupakan metode tercepat yang dapat digunakan untuk menanamkan pemahaman. Gambar punya subyek yang mudah dipahami yang di dalamnya berfungsi sebagai simbol yang jelas dan familiar.
Karikatur masa Orde Lama, demokrasi parlementer menunjukkan kepada kita bahwa dalam beberapa karikatur pada masa itu lebih banyak menggunakan ikon tokoh politik, sarkastik bahasanya, lawan politik memang jelas tampak, tetapi sindiran dan komentar verbalnya tidak banyak.
Dalam pembahasan di bab selanjutnya akan dijelaskan lebih jauh mengenai perbandingan gambar-gambar karikatur di media cetak Orde Lama dan Reformasi, dan makna gambarnya dengan menggunakan Teori Semiotika milik Charles Sanders Pierce, yang membagi klasifikasi tanda menurut ground, objek, dan interpretant. Namun dalam pembahasan ini hanya dibatasi pada bagian memaknai gambar karikatur berdasarkan objeknya, yaitu sebagai ikon, namun dapat juga termasuk gambar simbol atau lambang.
RUMUSAN MASALAH
Bagaimana perbedaan karikatur era Orde Lama dengan karikatur era Reformasi?
KERANGKA PEMIKIRAN
1. Pengertian Komunikasi Menurut Shannon dan Weaver
Sebelum lebih jauh mengkaji masalah karikatur di media cetak, terlebih dahulu perlu dipahami mengenai apa itu komunikasi. Komunikasi menurut Shannon dan Weaver (Dalam Wiryanto, 2004:7) adalah bentuk interaksi manusia yang saling mempengaruhi satu sama lain, sengaja atau tidak disengaja dan tidak terbatas pada bentuk komunikasi verbal, tetapi juga dalam hal ekspresi muka, lukisan, seni dan teknologi. Salah satu prinsip komunikasi menurut Deddy Mulyana dalam bukunya Komunikasi Suatu Pengantar (2001), yaitu komunikasi merupakan suatu proses simbolik. Penggunaan lambang dan simbolisasi adalah salah satu kebutuhan pokok manusia dan Ernst Cassier mengatakan bahwa keistimewaan manusia adalah sebagai animal symbolicum.
2. Kartun dan Karikatur
Humor dapat disajikan dalam berbagai bentuk, seperti dongeng, teka-teki, puisi rakyat, nyanyian rakyat, julukan, karikatur, kartun, bahkan nama makanan yang lucu. Kartun (cartoon) berasal dari bahasa Italia cartone yang artinya kertas. Pada mulanya kartun adalah penamaan bagi sketsa pada kertas alot (stout paper) sebagai rancangan atau desain untuk lukisan kanvas atau dinding. Saat ini kartun adalah adalah gambar yang bersifat dan bertujuan sebagai humor satir, tidak hanya untuk melucu, tetapi juga untuk menyindir dan mengkritik. Wahana kritik sosial ini sering ditemui di majalah, tabloid, surat kabar. Meski pesannya bersifat serius tetapi tujuan kartun ialah sebagai selingan pelepas keseriusan.
Karikatur adalah bagian dari kartun, berasal dari bahasa Italia caricatura dari caricare yang berarti memberi muatan atau beban tambahan. Maka karikatur merupakan gambar bermuatan humor atau satir dalam berbagai media massa dengan mengambil tokoh-tokoh orang yang terkenal atau orang-orang biasa yang karena peristiwa tertentu menjadi terkenal. Untuk menampilkannya secara lebih humoristis tokoh-tokoh itu digambarkan dengan distorsi tubuh dan wajah. dengan ciri deformasi atau distorsi wajah, biasanya wajah manusia (tokoh) yang dijadikan sasaran. Karikatur sering disebut juga portrait caricature. (Wijana, 2004:7).
Jenis-jenis kartun media-media cetak menurut I Dewa Putu Wijana (2004:11) meliputi:
1. Kartun editorial (editorial cartoon)
Digunakan sebagai visualisasi tajuk rencana surat kabar atau majalah. Kartun ini biasanya membicarakan masalah politik.
2. Kartun murni (gag cartoon)
Yaitu sekedar gambar lucu atau olok-olok tanpa maksud mengulas suatu permasalahan atau peristiwa aktual.
3. Kartun komik (comic cartoon)
Merupakan susunan gambar, biasanya terdiri dari tiga sampai enam kotak. Isinya adalah komentar humoristis tentang suatu peristiwa atau masalah aktual.
Menurut GM Sudarta (Sobur, 2004: 139) kartun yang membawa pesan kritik sosial, yang muncul di setiap penerbitan surat kabar adalah political cartoon atau editorial cartoon, yakni versi lain dari editorial, atau tajuk rencana dalam versi gambar humor.
Ada empat hal yang penting dalam kartun opini, yaitu:
1. Harus informatif dan komunikatif
2. Harus situasional dengan pengungkapan yang hangat
3. Cukup memuat kandungan humor
4. Harus mempunyai gambar yang baik.
Kartun di media pers Dunia Ketiga menjadi ciri pers sehingga menarik untuk disoroti.
3. Teori Semiotika
Bagaimana kita dapat memahami makna sebuah gambar, ikon, maupun lambang? Kita dapat mengkaji makna sebuah lambang, ikon, gambar, serta bahasa menggunakan Teori Semiotika. Meski Semiotika menganalisis soal kebahasaan yang dikupas lebih dalam dengan teori Ferdinand de Saussure, tetapi dalam pembahasan ini hanya dibatasi pada analisis tanda visual dalam karikatur, klasifikasi karikatur Orde Lama dan Reformasi menggunakan pokok pemikiran Semiotika milik Charles Sanders Pierce, atau lebih khusus menganalisis dengan membedakan gambar mana yang disebut ikon dan mana yang disebut simbol atau lambang.
Charles Sanders Pierce
Semiotika berasal dari bahasa Yunani: semeion, yang berarti tanda. Semiotika adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda (sign), berfungsinya tanda, dan produksi makna. Teori tentang tanda ini dikemukakan oleh Charles Sanders Pierce (1839-1914). Baginya yang seorang ahli filsafat dan logika, penalaran manusia dilakukan lewat tanda, artinya manusia hanya bisa bernalar lewat tanda. Dalam pikirannya logika sama dengan dengan semiotika dan semiotika dapat diterapkan lewat tanda.
Tanda (representament) bagi Pierce adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain dalam batas-batas tertentu. Tanda akan selalu mengacu (mewakili) ke sesuatu yang lain, oleh Pierce disebut object (denotatum). Tanda baru dapat berfungsi bila diinterpretasikan dalam benak penerima tanda melalui interpretant. Interpretant ialah pemahaman makna yang muncul dalam diri penerima tanda. Artinya, tanda baru dapat berfungsi sebagai tanda bila dapat ditangkap dan pemahaman terjadi berkat ground, yaitu pengetahuan tentang sistem tanda dalam suatu masyarakat.
Klasifikasi tanda |
Ground | 1. Qualisign: kualitas yang ada pada tanda. 2. Sinsign: eksistensi aktual benda atau peristiwa yang ada pada tanda. 3. Legisign: norma yang dikandung oleh tanda. |
Objek | 1. Ikon (icon): hubungan antara tanda dan objek atau acuan yang bersifat kemiripan. Contoh: foto, patung, gambar. 2. Indeks: tanda yang menunujukkan adanya hubungan alamiah antara tanda dan petanda yang bersifat kausal atau hubungan sebab-akibat, atau tanda yang langsung mengacu pada kenyataan. 3. Simbol: tanda yang menunjukkan hubungan alamiah antara penanda dengan petandanya, hubungan berdasarkan perjanjian masyarakat dan bersifat arbitrer (semena). Simbol disebut juga lambang. |
Interpretant | 1. Rheme: tanda yang memungkinkan orang menafsirkan berdasarkan pilihan. 2. Dicent sign atau dicisign: tanda sesuai kenyataan. 3. Argument: tanda yang langsung memberikan alasan tentang sesuatu. |
Pada pembahasan perbedaan karikatur Orde Lama dan Reformasi ini akan dibatasi pada analisis teknik menggambar kartun dengan menggunakan klasifikasi tanda menurut objeknya, yaitu pada lambang atau simbol, dan ikon.
IKON dan LAMBANG atau SIMBOL
Ikon adalah suatu benda fisik yang menyerupai apa yang direpresntasikan, baik dalam bentuk dua atau tiga dimensi. Contoh: patung Soedirman adalah ikon Soedirman, foto diri kita adalah ikon kita, gambar Soekarno adalah ikon Soekarno. Menurut Zoest (Sobur, 2004:158) ada tiga macam perwujudan ikon, yaitu:
1. Ikon spasial atau topologis, yang ditandai dengan adanya kemiripan antara ruang/ profil dan bentuk teks dengan apa yang diacunya
2. Ikon rasional atau diagramatik dimana terjadi kemiripan antara hubungan dua unsur tekstual dengan hubungan dua unsur acuan
3. Ikon metafora, disini bukan lagi dilihat adanya kemiripan antara tanda dan acuan, namun antara dua acuan, yang pertama bersifat langsung dan yang kedua bersifat tak langsung
Lambang tidak berbentuk fisik, tidak punya makna, tetapi kita yang memberi makna pada lambang. Dalam Mulyana (2001:84), lambang atau simbol adalah sesuatu yang digunakan untuk menunjuk sesuatu yang lain, berdasarkan kesepakatan sekelompok orang, dapat berupa kata-kata (pesan verbal), perilaku non-verbal, dan objek yang maknanya disepakati bersama-sama. Menurut Pierce, untuk dapat memahami simbol maka dibutuhkan mediasi dengan simbol dan acuan.
Berbeda dengan Pierce, bagi Saussure simbol atau lambang adalah sejenis tanda dimana hubungan antara penanda dan petanda seakan-akan bersifat arbitrer, konsekuensinya hubungan antara kesejarahan mempengaruhi pemahaman kita. (Sobur, 2004:162)
Untuk melihat gambar diperlukan konteks, karena simbol muncul dikarenakan adanya suatu konteks tertentu. Konteks menurut Liliweri (dalam Sobur: 162) ialah suatu situasi dan kondisi yang bersifat lahir dan batin yang dialami para peserta komunikasi, bentuknya:
1. Konteks fisik, misalnya lokasi berlangsungnya suatu acara
2. Konteks waktu
3. Konteks historis, yang merupakan keadaan yang pernah dialami oleh peserta komunikasi, pengalaman historis itu berpengaruh terhadap keadaan komunikasi
4. Konteks psikologis, suasanan kebatinan yang bersifat emosional
5. Konteks sosial dan budaya, ialah keadaan sosial, budaya, yang menjadi latar belakang komunikator dan komunikan serta tempat berlangsungnya komunikasi.
PERBANDINGAN KARIKATUR
A. KARIKATUR ORDE LAMA
1. Sumber: Majalah TEMPO, edisi 17 Agustus 2007
2. Sumber: Majalah TEMPO, edisi 17 Agustus 2007
3. Sumber: Majalah TEMPO, edisi 17 Agustus 2007
4.Sumber: Majalah TEMPO, edisi 17 Agustus 2007
B. KARIKATUR REFORMASI
5. Sumber: Koran TEMPO, edisi Rabu 4 Juni 2008
6. Sumber: KOMPAS, edisi Sabtu 24 November 2007
7. Sumber: KOMPAS, edisi Selasa 13 November 2007
8. Sumber: KOMPAS, edisi Jumat 4 Juli 2008
PERBANDINGAN KARIKATUR ERA ORDE LAMA DAN ERA REFORMASI
Pada karikatur Orde Lama, empat gambar di atas menunjukkan bahwa teknik memvisualisasikan suatu peristiwa ketika itu benar-benar bebas, tajam, dan sarkas. Kartun politik dikoran-koran yang terbit waktu itu, begitu bebas menyasar tokoh politik yang sedang terkena masalah, teknik menggambarnya realis, sesuai peristiwa yang terjadi ketika itu. Media ketika itu masih dibawah kendali redaktur yang merupakan anggota-anggota partai oposan pemerintah. Karikatur atau kartun editorial lebih mudah dipahami maknanya ketika itu, karena tanpa takut media menebarkan pengaruh kepada rakyat untuk berebut kekuasaan.
”Karikatur merupakan kartun editorial yang biasa disebut political cartoon, karena fungsinya sebagai alat untuk mengkritik pemerintah, meskipun berisi humor, tetapi bertujuan menyindir. Yang menonjol pada masa itu, berkias untuk memperkeras olokan, sikap demikian berbeda dengan kartun masa matang Orde Baru yang umumnya lebih sembunyi-sembunyi, elipsis, metafora samar, dan eufemisme.” (Sunarto, Majalah Tempo,17 Agustus:108).Setelah Reformasi media massa kembali menjalankan fungsinya sebagai penyedia informasi, sarana korelasi, hiburan, mobilisasi, pengawasan sosial, dan sarana transfer nilai. (Arif Wibawa, Jurnal Komunikasi Massa:21). Media massa kemudian kembali menjadi lebih kritis, tetapi tidak sarkastik. Kehalusan bahasa yang digunakan memang warisan masa Orde Baru yang halus dan takut-takut.
”kondisi politik yang berbeda.......waktu itu memang menghenaki sarkas, tajam. Waktu juga jelas kan, siapa lawan-siapa kawan. Nah, lalu sekarang etika bangsa dan etika budaya lebih erat dengan kehidupan kita sekarang. Lalu tidak kalah dengan karya penghalusan.” (KABARE edisi November, 2007:22)
Dalam pembahasan ini lebih diperdalam untuk membedakan jenis-jenis tanda yang digambarkan dalam karikatur, dan memberikan perbedaan makna, dan teknik penggambaran antara karikatur Orde Lama dengan karikatur Era Reformasi.
Dengan berdasarkan pada Teori Semiotika Charles Sanders Pierce, yang mengklasifikasikan tanda berdasarkan objek, ground, dan interpretant, maka pembahasan mengenai tanda yang digunakan untuk memvisualisasikan suatu peristiwa atau tokoh tertentu lebih difokuskan pada kalsifikasi tanda menurut objek, yaitu lambang atau simbol dan ikon.
Lambang atau simbol adalah sesuatu yang digunakan untuk menunjuk sesuatu yang lain, berdasarkan kesepakatan sekelompok orang, dapat berupa kata-kata (pesan verbal), perilaku non-verbal, dan objek yang maknanya disepakati bersama-sama. Ikon adalah suatu benda fisik yang menyerupai apa yang direpresntasikan, baik dalam bentuk dua atau tiga dimensi. (Mulyana, 2001:84)
Komunikator yang berupa organisasi media dan komunikannya yang adalah semua rakyat Indonesia, baik yang masuk ke dalam golongan-golongan kepentingan, maupun rakyat biasa, ketika itu berada pada konteks sosial dan budaya yang sedang kacau jelas mana-lawan, mana-kawan, keadaan ekonomi yang memprihatinkan, kondisi rakyat yang masih miskin. Konteks tersebut digunakan untuk memahami gambar dari karikatur yang dibuat semasa itu, dan digunakan untuk memahami mengapa para karikaturis menggambarkan dengan begitu lugas dan bebas menggambarkan wajah tokoh politik masa itu.
Kebanyakan karikatur Orde Lama, diantaranya pada gambar 1 sampai gambar 4 lebih bersifat ikonis, yaitu sesuatu yang merepresentasikan kemiripan. Memakai ikon wajah dalam memvisualisasikan tokoh, dan kadang digabungkan dengan ikon binatang, atau bangunan bersejarah, yang sebenarnya kurang sopan tetapi cukup kritis untuk menggambarkan realita saat itu. Diantaranya wajah tokoh Ir. Soekarno yang sedang menabuh tong kosong (1), ikon wajah Moh. Hatta berbadan Sphynx berdiam diri melihat kekacauan yang terjadi di negara Indonesia ketika itu (2), ikon wajah Rasuna Said dan Syafrudin Prawiranegara (3), dan ikon wajah Sjahrir-Sumitro Djoyohadikusumo (4).
Ikon karikatur masa itu disebut ikon spasial atau ikon topologis, dimana gambar karikaturnya memiliki kemiripan dengan profil tokoh yang dikomentari atau dikritik dan apa yang diacu, dalam hal ini acuannya adalah peristiwa-peristiwa yang terjadi ketika itu. Pada tahun 50-an yang terjadi ialah perubahan dari negara serikat menjadi negara kesatuan, tidak terlaksananya pengembalian Irian Barat, Pemilu yang tertunda, penggagalan oleh Ir. Soekarno terhadap niat Angkatan Darat untuk membubarkan parlemen, pemberontakan-pemberontakan di beberapa daerah, inflasiyang mengakibatkan harga-harga kebutuhan pokok melambung, adanya korupsi dan kolusi, dan kemiskinan.
Penggambaran wajah tokoh-tokoh politik yang menjadi bahan olok-olok ketika itu merupakan hal biasa di koran-koran era Orde Lama. Media yang dikuasai oleh pihak-pihak atau partai-partai yang tidak puas terhadap kinerja pemerintah, maupun yang pro pemerintah memanfaatkan secara maksimal fungsi media sebagai pengontrol kinerja pemerintah, dengan visualisasi karikatur yang mudah dicerna pembaca.
Namun situasi saling mencela inilah yang mengakibatkan stabilitas keamanan pemerintahan Orde Lama tidak kunjung damai, semua pihak merasa benar dan berusaha megarahkan bangsa ini sesuai kehendak kelompok-kelompok tertentu. Ikon-ikon tokoh dalam karikatur di koran ketika itu sesungguhnya ingin menunjuk pada peristiwa yang sedang hangat di masyarakat, namun faktor ketidaksukaan pada tokoh-tokoh tertentu, sehingga dengan mudah dan bebasnya pihak pro dan kontra pemerintah berolok di media dengan karikatur yang menonjolkan distorsi wajah tokoh pemerintah yang menjadi sasaran kritik.
Dalam karikatur Orde Lama percakapan antar tokoh yang digambarkan tidak banyak, kata-kata dalam karikatur masa itu hanya digunakan sebagai penjelas gambar dan lebih banyak menggunakan istilah-istilah kasar yang cukup tajam. Hal ini pulalah yang menjadikan perbedaan karikatur-karikatur di halaman editorial Orde Lama dan Orde Baru, dan juga menunjukkan bagaimana ciri seorang karikaturis dalam mendeskripsikan peristiwa yang sedang hangat hingga tanpa percakapan pun pembaca sudah tahu apa maknanya berkaitan dengan peristiwa yang sedang terjadi.
Berbeda dengan karikatur Orde lama karya Sibarani, Soeharto di koran-koran jaman dulu dengan bahasa karikatur dan visualisasi gambar yang berupa ikon wajah tokoh politik yang cukup tajam dan kasar, seorang GM. Sudharta yang terhitung lama bergulat di dunia karikatur menggunakan bahasa yang sejak dulu tidak terlalu kasar tetapi cukup menyindir. Hingga era Reformasi ciri gambarnya cukup susah dipahami apa maknanya tanpa kita tahu isi artikel editorialnya.
Untuk memahami gambarnya yang takut-takut dan memakai metafor dalam bahasanya, maka perlu dilihat konteksnya. Konteks yang dipakai dalam menggambarkan karikatur Reformasi dan Orde Lama adalah sama yaitu konteks sosial-budaya. Keadaan sosial masyarakat yang berbeda, dimana masyarakatnya sudah lebih kritis dan paham politik di Era Reformasi, kondisi ekonomi yang terbilang lebih baik dibanding masa Orde Lama, dengan keadaan budaya yang lebih modern, terkuaknya berbagai kasus korupsi, dan karakter masyarakat kini yang takut-takut atau sembunyi-sembunyi dalam menjatuhkan lawan politiknya.
Karikatur-karikatur Era Reformasi lebih banyak menggunakan lambang dalam melukiskan peristiwa atau tokoh yang sedang marak dibicarakan di masyarakat. Orde Baru banyak mempengaruhi teknik kebahasaan dan teknik menggambar kartun karikatur. Pada era itu semua pihak tidak berani melawan kediktatoran pemimpin Orde Baru, mantan Presiden Soeharto. Media akan mendapat ancaman bredel jika berani mengkritik jalannya roda pemerintahan masa itu, sehingga mengubah teknik kebahasaan yang tadinya tajam menjadi penghalusan atau eufemisme.
Dari Teori semiotika, untuk memahami sebuah obyek gambar karikatur dengan acuan peristiwa yang sedang terjadi, lambang merupakan sesuatu untuk menunujuk sesuatu yang lain. Gambar karikatur Reformasi menunujukkan perlambangan-perlambangan peristiwa yang sedang hangat dibicarakan dan diulas pada halaman editorial maupun menjadi penghias lembar opini dalam sebuah koran.
Gambar no. 5 hingga no.8 adalah karikatur yang melambangkan peristiwa atau tokoh. Karikatur tikus dan palu lambang korupsi di Kejaksaan Indonesia yang terkuak oleh KPK (5), karikatur yang mengangkat peristiwa sebagai lambang adanya kericuhan setiap ada PILKADA (6), gambar karikatur di halaman opini dengan lambang kemiskinan yang digambarkan dengan seorang berpakaian compang-camping yang tinggal di Jakarta (7), dan gambar terakhir ialah karikatur lambang tingginya biaya pendidikan dimana banyak anak yang tidak dapat mengenyam pendidikan.
Jika dilihat teknik penggambarannya, maka kebanyakan karikaturis sekarang lebih mengulas peristiwa dengan metafora atau pengandaian dan eufemisme gambar, kata-kata dalam karikatur jarang ditemui kecuali jika kita mengamati gambar karikatur GM Sudharta yang selalu menggunakan balon kata untuk menjelaskan gambarnya, hal ini dikarenakan sulitnya membaca makna gambar miliki GM Sudharta tanpa kita tahu masalah apa yang ditulis di lembar opini.
Berbeda dengan karikaturis lain, seperti Thomdean, Jitet Koestana, dan Gatot dari Tempo tidak digunakan balon kata melainkan menjelaskan suatu peristiwa secara jelas tetapi halus dengan gambar yang sesuai peristiwa yang diulas di halaman opini maupun editorial.
KESIMPULAN
Karikatur merupakan jenis kartun editorial yang menjadi visualisasi editorial atau tajuk dan opini pembaca. Karikatur sesungguhnya memiliki ciri gambar yang mengalami distorsi wajah tokoh, tetapi tidak menutup kemungkinan gambar karikatur juga merupakan kartun biasa yang mengangkat peristiwa yang sedang hangat dibicarakan, dan bertujuan untuk memberi komentar dan kritikan terhadap peristiwa-peristiwa tersebut.
Di masa Orde Lama, karikatur menjadi alat yang ampuh untuk menjatuhkan lawan selain artikel-artikel di koran. Pada masa itu kepemilikan media berada di bawah naungan kelompok-kleompok tertentu baik yang pro pemerintahan Soekarno maupun yang kontra. Masing-masing memiliki penilaian tersendiri tentang apa yang terbaik bagi bangsanya, sehingga masa Orde Lama adalah masanya demokrasi dan kebebasan pers. Namun keadaan yang demikian tidak pernah menimbulkan perdamaian di dalam diri masyarakat, sementara rakyat bawah mengalami kemiskinan.
Oleh sebab itu konteks yang digunakan untuk menggambar karikatur ialah konteks sosial-budaya yang tajam, sarkastik, dan kebanyakan berani menggunakan gambar distorsi wajah tokoh politik, disini disebut ikon tokoh.
Berbeda dengan karikatur di Era Reformasi yang cenderung hati-hati, beretika, dan sembunyi-sembunyi. Keadaan ini tidak lepas dari cara pemimpin Orde Baru mengendalikan pers untuk membatasi diri mengkritik kinerja pemerintah. Semua bahasa mengalami penghalusan atau eufemisme, hingga pada akhirnya terbawa pada Era Reformasi.
Karikatur Reformasi lebih banyak menggambarkan peristiwa yang hangat dibicarakan dengan daya imajinasi tinggi, halus dan mengena. Karikatur era ini lebih sulit dipahami tanpa kita tahu apa yang dibicarakan dalam editorial maupun opini. Teknik menggambar karikatur era ini sebenarnya ditujukan pada pemerintah dalam mengkritik kinerja mereka, namun dengan lambang-lambang tertentu yang menegaskan peristiwanya atau kebijakan dan perilaku pemerintah sekarang. Maka dari itu konteks yang digunakan para karikaturis dalam menggambarkan karikaturnya memakai kontek sosial-budaya.
Untuk memahami gambar karikatur itu diperlukan sebuah Teori yang mempelajari tentang tanda, yaitu Semiotika. Semiotika menurut Charles Sanders Pierce membagi tanda ke dalam tiga jenis yaitu tanda berdasarkan ground, object, dan interpretant. Tanda berdasarkan objek dibagi menjadi ikon, lambang, dan indeks.
Kebanyakan karikatur-karikatur Orde Lama berdasarkan objeknya tergolong karikatur yang ikonis, karena keberanian sang karikaturis mendistorsikan wajah tokoh-tokoh politik yang dikritik. Sedangkan karikatur Era Reformasi menurut objeknya tergolong karikatur yang menggunakan perlambangan atau simbol, seperti compang-camping adalahsimbol kemiskinan, dan tikus sebagai simbol koruptor.
Jadi kesimpulannya karikatur masa Orde Lama lebih berani dan sarkas, dengan teknik menggambarkan tokoh yang ikonis berbeda dengan karikatur Era Reformasi yang halus, sembunyi-sembunyi dan menggunakan teknik perlambangan atau simbol dalam menyampaikan peristiwa yang sedang dibahas.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU DAN JURNAL KOMUNIKASI
Mulyana, Deddy. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. 2001. Bandung. PT. Remaja Rosdakarya.
Sobur, Alex, Drs. Semiotika Komunikasi.2003. Bandung. PT. Remaja Rosdakarya.
Wijana, I Dewa Putu. KARTUN. 2004. Yogyakarta. Penerbit Ombak.
Wiryanto. Pengantar Ilmu Komunikasi. 2004. Jakarta. PT. Gramedia Widiasaran Indonesia.
Wibawa, Arif. Jurnal Komunikasi Massa. Yogyakarta. Universitas Pembangunan Nasional “Veteran”.
ARTIKEL
Indarto, Kuss. “Oom Pasikom, Sang Perekam Zaman”. http://kuss-indarto.blogspot.com/2007/09/oom-pasikom-sang-perekam-zaman.html.
Diakses: Senin, 3 Desember 2007. Pukul 12:39.
Ritonga, Jamiludin. “Pola Komunikasi Politik Yang Ideal Di Indonesia”. http://www.sinarharapan.co.id/berita/0701/31/opi01.html. Diakses: Sabtu, 22 Desember 2007. Pukul 12:43.
Sunarto, Priyanto. “Hatta: Serigala, Rasuna Said: Kucing Garong”. Tempo, 17 Agustus 2007.
Tinarbuko, Sumbo.”Desain Grafis IndonesiaCreating deeper understandings between Indonesian Graphic Designers—Semiotika Iklan Sosial”. http://desaingrafisindonesia.wordpress.com/2007/10/15/semiotika-iklan-sosial/. Diakses: Sabtu, 20 Oktober 2007. Pukul 11:15.
Tim KABARE. “Tokoh: GM. Sudartha”. Majalah KABARE, edisi November 2007.
Tim KOMPAS. “JITET KOESTANA”. http://www.kompascybermedia.com. Diakses: Sabtu, 22 Desember 2007. Pukul 12:50.
Waluyanto, Heru Dwi. “KARIKATUR SEBAGAI KARYA KOMUNIKASI VISUAL DALAM PENYAMPAIAN KRITIK SOSIAL”. NIRMANA Vol. 2, No. 2, Juli 2000: 128 – 134. Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain –Universitas Kristen Petra. http://puslit.petra.ac.id/journals/design/. Diakses: Jumat, 1 Desember 2007. Pukul 13:25.
--, “Tujuh Tradisi Komunikasi“. http://teorikomunikasi-umy.blogspot.com/2005/09/7-tradisi-dalam-teori-komunikasi.html. Diakses: Sabtu, 20 oktober. Pukul 10:58
SURAT KABAR dan MAJALAH (lampiran gambar)
KOMPAS, edisi Sabtu 24 November 2007
KOMPAS, edisi Selasa 13 November 2007
KOMPAS, edisi Jumat 4 Juli 2008
Koran TEMPO, edisi Rabu 4 Juni 2008
Majalah KABARE, edisi November 2007
Majalah TEMPO, edisi 17 Agustus 2007