Senin, 14 Juli 2008

ANALISIS EKONOMI

PEMBERANTASAN
KORUPSI PENCUCIAN UANG (MONEY LAUNDERING)

Kasus Pencairan Dana Milik Tommy Soeharto
Korupsi adalah masalah global, baik di negara maju maupun negara berkembang. Indonesia merupakan salah satu contoh negara berkembang yang memiliki tingkat korupsi yang sangat tinggi meskipun sudah banyak cara untuk mengusut kasus korupsi. Jika dilihat dari perspektif ekonomi (Faisal Basri,2000, hal.59) korupsi dari sudut pandang makro umumnya lebih banyak berdampak negatif pada perekonomian. Sedangkan dari perspektif mikro atau sudut pandang pelaku-pelaku ekonomi yang membayarkan sogokan kepada para pejabat yang korup, maka dapat dikatakan korupsi mungkin dapat mempertinggi tingkat efisiensi dan mendukung usahanya.
Seperti contoh kasus yang beberapa waktu lalu sempat mengagetkan publik, yaitu adanya dugaaan terjadinya tindak pidana korupsi dan pencucian uang (money laundering) dalam pencairan uang milik Tommy Soeharto di Banque Nationale de Paris (BNP) Paribas London, senilai Rp 100 miliar, pada bulan April 2005. Mengaitkan sejumlah nama pejabat Departemen Hukum dan HAM (Depkum dan HAM), diantaranya ialah Yusril Ihza Mahendra (ketika itu menjabat sebagai Menteri Sekretaris Negara sebelum reshuffle kabinet), Hamid Awaludin (ketika itu adalah Menteri Hukum dan HAM sebelum reshuffle kabinet), dan Zulkarnaen Yunus yang merupakan pejabat di Depkum dan HAM.
Kasus ini dapat dikaitkan dengan salah satu tipe mekanisme dalam peningkatan pertumbuhan ekonomi menurut Mauro (1995), yaitu praktek korupsi yang dengan pemberian dana untuk mempercepat sesuatu urusan (speed money), sehingga dapat memungkinkan pelaku ekonomi terhindar dari penundaan-penundaan urusannya. Sebab terhindar penundaan aktivitas ekonomi berarti biaya (ongkos, bunga, dan lepasnya peluang usaha). Hal ini mudah sekali terjadi di Indonesia karena sistem birokrasi Indonesia sangat buruk.
Dari kasus Tommy tersebut kita bisa mengetahui bahwa para pejabat telah menyalahgunakan wewenang dan kekuasaannya dengan cara memudahkan serta membantu secara langsung pencairan dana senilai Rp 100 miliar milik Tommy di BNP Paribas, padahal sebelumnya dana tersebut telah dibekukan oleh otoritas bank untuk sementara waktu karena ada dugaan dana tersebut diperoleh dari tindak kejahatan.
Saat ini praktik-praktik korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan dari tingkat pemerintahan tertinggi begitu terbuka, sedangkan perangkat hukum yang tidak seimbang yang kini tidak berfungsi sebagai jaring-jaring pengaman, namun digunakan sebagai alat pembenaran bagi praktik-praktik korupsi yang semakin memperlemah kehidupan negara yang sehat.
Kasus dugaan korupsi dan money laundering ini terkait dengan peran masing-masing pejabat Depkum dan HAM, yaitu Yusril Ihza Mahendra sebagai pemilik Kantor Hukum Ihza & Ihza berperan sebagai pihak yang mengurus dokumen pencairan uang Tommy, dan Hamid Awaludin adalah pemberi ijin dalam menggunakan rekening Depkum dan HAM untuk memperlancar pencairan uang.
[1]
Rekening yang digunakan untuk mencairkan dana pribadi Tommy Soeharto dan dana milik swasta merupakan rekening milik Dephuk dan HAM. Hal tersebut menurut Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) Fakultas Hukum UGM, Zainal Arifin Mochtar merupakan pelanggaran terhadap ketentuan yang diatur dalam UU Keuangan Negara dan UU Perbendaharaan Negara yaitu UU No. 1 Tahun 2004.
Dengan adanya kasus Tommy Soeharto ini kita tahu bahwa sesungguhnya bank memiliki peranan penting dalam otoritasnya untuk mengijinkan atau tidak mengijinkan pihak-pihak yang berkaitan atau tidak untuk proses pencairan dana milik Tommy dan swasta ini. Meskipun sebenarnya BNP Paribas telah membekukan rekening Tommy, namun tetap saja dana ini dapat dicairkan oleh pihak yang sesungguhnya tidak berwenang menangani kasus ini dalam hal ini yaitu Kantor Hukum Ihza & Ihza, Hamid Awaludin, serta Dephuk dan HAM. Dalam hal ini bank bersikap kurang tegas untuk mencegah pihak yang tidak memiliki kewenangan dan sebaiknya bank juga dapat mencegah pihak yang tidak berwenang dari Indonesia ini jika hanya dengan mengatasnamakan pemerintah Indonesia saja.
Selain peranan penting perbankan secara umum korupsi selain money laundering berkembang begitu meluas karena adanya beberapa faktor, diantaranya: terdapat kesempatan dan peluang luas untuk melakukannya; adanya pejabat yang seharusnya menjadi panutan berbuat sama; piranti hukum yang lunak dan law enforcement yang longgar; kontrol yang lunak dari atasan maupun masyarakat; sanksi hukum yang ringan; serta adanya anggapan bahwa praktik korupsi sebagai suatu kewajaran (jika terjadi dalam satu unit kerja yang sama).
[2]

Peran Perbankan Dalam Menjaga Kerahasian Data Nasabah
Perbankan dan penyedia jasa keuangan merupakan pihak yag memegang peranan penting dalam mendeteksi indikasi terjadinya korupsi yang berbentuk money laundering. Perbankan mampu mencegah dan memberantas korupsi money laundering di dunia perbankan karena korupsi berkaitan erat dengan tindakan korupsi. Karena korupsi merupakan faktor utama kegiatan tindak pidana money laundering. Biasanya uang yang disimpan di bank dengan data nasabah yang mencurigakan merupakan hasil tindak kejahatan dalam hal ini diambil contoh dari kasus pencairan dana milik Tommy Soeharto yang diduga dana yang dicairkan adalah uang hasil tindak korupsi yang disimpan di luar negeri untuk menghilangkan data asli darimana sesungguhnya uang tersebut berasal. Sedangkan bank memiliki otoritas untuk menjaga kerahasiaan data para nasabahnya, dan tidak ada pengawasan terhadap pelaporan data asal uang tersebut, apakah halal ataukah haram (tindak kejahatan korupsi). Data asal uang tersebut dianggap bersih oleh bank tanpa pengecekan.
Menurut Rimsky K. Judisseno (2002), kerahasiaan bank merupakan suatu keharusan. Di dalam pasal 40 UU Perbankan 1998 tertulis, “bank wajib merahasiakan keterangan mengenai Nasabah Penyimpan
* dan simpanannya. Kewajiban merahasiakan tersebut juga berlaku bagi Nasabah Debitur.”** Karena kedudukan nasabah debitur diberlakukan sama dengan nasabah penyimpan, seperti yang tertulis dalam penjelasan pasal 40 UU Perbankan 1998.[3]
Menjaga kerahasiaan nasabah inilah yang menjadi hambatan dalam proses pemeriksaan nasabah-nasabah yang merugikan negara, karena berlindung pada pasal 40. Seperti halnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang memiliki wewenang dalam menyelidiki data-data bank untuk mengakses dan memblokir rekening bank tidak dapat bekerja secara efektif juga dikarenakan adanya UU No.7 tahun 1992 mengenai kerahasiaan data bank.
Namun saat ini memasuki era globalisasi, kerahasiaan bank sudah bukan menjadi hambatan lagi. Karena pemerintah Indonesia telah mengadopsi ketentuan dari Konvensi Menentang Korupsi ( Convention Against Corruption, 2003), dimana setiap negara peserta konvensi dituntut agar memasukkan ketentuan yang dapat membuka kerahasiaan bank bagi kepentingan penyidikan tindak pidana korupsi.

Peran Perbankan Dalam Upaya Pemberantasan Korupsi Money Laundering
Korupsi memiliki hubungan yang sangat erat dengan sektor perbankan, karena kejahatan luar biasa tersebut merupakan tindak pidana asal dari tindak pidana pencucian uang (money laundering). Selain peranan pihak yudikatif (eksternal) mau tidak mau bank harus turut berpartisipasi dalam upaya pemberantasan korupsi secara internal. Jika terjadinya korupsi tidak dapat diantisipasi oleh bank maka dampak korupsi tersebut secara tidak langsung akan merugikan perbankan sendiri, yatiu berakibat pada rusaknya tatanan ekonomi secara makro.
Langkah-langkah yang perlu diambil oleh perbankan untuk memerangi korupsi money laundering menurut artikel Muad’z Fahmi (28/9/2006), diantaranya: pertama, perbankan harus memiliki mekanisme audit yang efektif dan mekanisme menejemen resiko serta memiliki sumber daya yang cukup agar mampu taat kepada peraturan perundang-undangan dan pedoman yang dikeluarkan oleh PPATK maupun regulator industri keuangan.
Kedua, perbankan harus menerapkan prinsip mengenal nasabah (Know Your Customer)
* dan melaporkan transaksi keuangan mencurigakan serta transaksi tunai. Prinsip ini dimaksudkan untuk mencegah digunakannya bank sebagai sasaran pencucian uang, terutama dari hasil korupsi oleh nasabah bank. Ketiga, perbankan perlu berpartisipasi dengan memberikan informasi kepada penegak hukum, terutama KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi).
Peran aktif perbankan juga dibutuhkan untuk mewujudkan good governance, clean government, dan gerakan antikorupsi baik nasional maupun internasional, dan juga perlunya mempertimbangkan pelaksanaan hal-hal yang memungkinkan untuk mendeteksi dan memonitor pergerakan kas, mempertimbangkan pengaplikasian langkah-langkah yang sesuai termasuk dalam hal pembayaran uang.
**
Bank Indonesia (BI) yang memiliki kewenangan dalam menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran serta mengatur dan mengawasi, menurut UU No. 23 Tahun 1999, menjadi kunci utama penggerak kesadaran sistemik perbankan dalam upaya mencegah dan memberantas korupsi money laundering.
KPK juga perlu bekerjasama dengan BI dalam upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi yaitu dengan membangun sistem data nasabah terpadu (integrated customer information), pertukaran informasi (data exchange), bantuan personil, pelatihan dan sosialisasi, serta penunjukkan pejabat penghubung.
Informasi BI kepada KPK mengenai hasil pengawasan yang berindikasi tindak pidana korupsi, informasi individual pengiriman uang (money remintances) masuk dan keluar Indonesia (LLD), informasi debitur individual (SDI), Real Time Gross Settlement (RTGS), dapat mempermudah upaya pelacakan aliran hasil korupsi dan aset milik koruptor yang dicuci dalam sistem perbankan untuk dikembalikan kepada negara.
[4]

Perencanaan Lembaga Baru Pengawas Perbankan
Menurut IMF (Krisna Wijaya, 2000), BI belum melaksanakan fungsinya secara optimal sebagai lembaga pengawasan, hal ini dapat diterima mengingat jumlah bank di Indonesia sangat banyak jumlahnya, sehingga peran BI sebagai pengawas kurang efektif. Menurut Krisna Wijaya kelemahan teknis BI adalah keterbatasan jumlah petugas pengawasan, jika ditambah jumlahnya maka kelemahan teknis tersebut teratasi. Hal lain yang menjadi masalah efektifitas pengawasan perbankan oleh BI ialah adanya peran lain Bank Indonesia dalam hal tertentu sehingga dapat dikatakan dalam hal lain BI kurang independen.
Latar belakang pembentukan lembaga baru yang bertugas mengawasi perbankan ialah karena tidak independennnya Bank Sentral (dalam hal ini BI) untuk mengawasi perbankan di Indonesia secara objektif, independen, dan efektif. Namun hal ini bukan menjadi alasan semata untuk membentuk sebuah lembaga independen baru. Hal lain yang perlu dipertimbangkan untuk membentuk sebuah lembaga baru pengawas perbankan menurut Krisna Wijaya, yaitu:
1. Agency Problem
Keterikatan suatu lembaga dalam suatu kontrak dengan pihak lain, dimana salah satu pihak mendelegasikan kewenangannya kepada pihak lain (agent) untuk melakukan hal-hal yang didelegasikan tersebut.
Masalah agency problem merupakan bibit dari praktik KKN (korupsi, kolusi, nepotisme) yang dikemas rapi, sistematis, dan berlindung pada kekuasaan. Agency problem merupakan akar masalah pengawasan perbankan, sehingga perlu adanya lembaga baru untuk mengawasi perbankan.
2. Conflict of interest
Meskipun tugas pengawasan dilakukan secara profesional, namun dalam menindaklanjuti temuan pengawasan akan selalu ada conflict of interest. Conflict of interest di masa lalu terjadi karena unsur intervensi dan ketidakindependenan BI.

Gagasan mengenai pembentukan lembaga baru ini bertujuan untuk memperbaiki sistem perbankan nasional yang sehat dan kuat, agar rencana restrukturisasi perbankan dapat tercapai.

Tindakan Yudikatif Dalam Upaya Memberantas Korupsi
Upaya untuk menghapuskan korupsi sekarang merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari gerakan reformasi ekonomi yang sedang berlangsung saat ini. Pemberantasan korupsi di Indonesia pun tidak mungkin lepas dari tanggungjawab pihak berwenang dan lembaga yudikatif Indonesia untuk melaksanakan fungsinnya untuk menegakkan keadilan dan kebenaran. Dan tidak dibenarkan adanya campur tangan pihak lain yang tidak berhak untuk mengusut kasus korupsi, dalam hal ini kasus pencairan dana milik Tommy Soeharto. Ini menunjukkan bahwa bidang politik dan hukum harus berjalan bersama agar diperoleh pembangunan ekonomi yang lebih kuat.
Adanya sistem hukum yang kuat dan independen akan memberikan pula peluang munculnya organisasi relawan swasta (private voluntary organizations) dan lembaga pengawasan umum atau masyarakat (office of controller-general).
Di Indonesia selain Mahkamah Agung, berperan pula KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) yang merupakan lembaga independen dalam mengurus kasus korupsi dan membantu menyelesaikannya untuk menjaga ketertiban hukum di Indonesia. KPK memiliki peranan penting dalam mendukung pemerintah yang terbatas dalam mengatasi masalah korupsi. Lembaga ini akan memperkuat kelembagaan pemerintah, walaupun dengan intervensi yang minimal dalam mendukung jalannya pembangunan ekonomi.
Tiga nama pejabat yang mencairkan Tommy tidak memiliki wewenang dalam memberi status bersih atas segala tindakan pencucian uang dan transaksi keuangan yang mencurigakan kepada Tommy Soeharto karena hal tersebut merupakan kewenangan yudikatif.
[5] Jika ada pejabat yang menyalahgunakan kekuasaan tersebut maka dikhawatirkan akan menjadi panutan bagi bawahan mereka. Maka dalam kasus pencairan dana milik Tommy dan swasta ini akan diselidiki pula peranan mereka oleh KPK dan jika benar dinyatakan terlibat tentu ada pasal-pasal yang akan menghadapkan mereka ke meja hijau.
Untuk memperoleh ijin dari pihak perbankan dalam penusutan kasus korupsi pun saat ini Indonesia telah memiliki pasal tersendiri bagi KPK untuk memperlancar tugasnya. Disebutkan Mahkamah Agung bahwa pasal 12 UU No. 30 Tahun 2003 tentang kewenangan KPK merupakan ketentuan khusus (lex spesialis) yang dapat mengesampingkan ketentuan dalam Undang-Undang yang bersifat umum. Prosedur izin kepada Gubernur Bank Indonesia untuk membuka rahasia rekening bank tidak berlaku bagi KPK.
Dengan adanya ketentuan ini maka para pejabat otoritas perbankan dan pimpinan bank dituntut untuk melaksanakan pembukaan kerahasiaan bank menyangkut status hukum tersangka dalam perkara tindak pidana korupsi ataupun tindak pidana lain.
Perbankan perlu berpartisipasi dalam upaya pemberantasan korupsi yaitu dengan bentuk pemberian akses informasi kepada KPK sebagai penegak hukum. KPK memiliki wewenang dalam penyidikan, penyelidikan, dan penuntutan, yaitu denagn melakukan tindakan-tindakan berupa:
meminta keterangan kepada bank atau lembaga keuanagan lainnya tentang keadaan keuangan tersangka yang sedang diperiksa.
memerintahkan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya untuk memblokir rekening yang diduga hasil dari korupsi tersangka, terdakwa, atau pihak lain yang terkait.
menghentikan suatu transaksi keuangan.
[6]
Kejaksaan Agung merasa kesulitan dalam partisipasinya untuk menangani kasus pencucian uang, menurut Jaksa Agung yang saat itu dijabat oleh Abdul Rahman Saleh (sebelum reshuffle kabinet), Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) lebih sering melaporkan kasus money laundering kepada pihak kepolisian. Dan PPATK selalu memberikan laporan tembusannya kepada Kejaksaan Agung mengenai kasus money laundering. Padahal kejaksaan memiliki hak dalam menangani kasus pencucian uang atau money laundering.
Tidak mudah untuk menghapuskan korupsi yang telah mendarah daging di negara ini. Oleh karena itu perlu adanya agenda reformasi untuk menghapuskan korupsi dengan cara membenahi faktor-faktor penyebab yang dapat memberikan peluang terjadinya korupsi, karena tidak cukup jika hanya mengejar dan mengusut para pelaku korupsi tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
http://www.antara.co.id/arc/2007/4/30/bank-dunia-ppatk-kerjasama-berantas-pencucian-uang/
diakses 5 Mei, 2007. 19:55

http://www.antara.co.id/arc/2007/4/17/presiden-ajak-semua-pihak-perangi-pencucian-uang/
diakses 5 Mei, 2007. 19:58

http://www.antara.co.id/arc/2007/4/17/kapolri-diminta-usut-pencairan-uang-tommy/
diakses 5 Mei, 2007. 20:00

http://www.kpk.go.id/modules/news/article.php. (Media Indonesia, 28 September 2006)
diakses 5 Mei, 2007. 20:03

http://www.republika.co.id/
diakses 5 Mei, 2007. 20:05

http://www.tempointeraktif.com/hg/hukum/2007/01/29/
diakses 5 Mei, 2007. 20:06

Judisseno, Rimsky K.2002. Sistem Moneter dan Perbankan di Indonesia. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Hamid, Edy Suandi.2000.Perekonomian Indonesia: Masalah Dan Kebijakan Kontemporer. UII Press.Yogyakarta.

Basri, Faisal. 2002. Perekonomian Indonesia: Tantangan Dan Harapan Bagi Kebangkitan Ekonomi Indonesia. Penerbit Erlangga, Ciracas, Jakarta.

Wijaya, Krisna. 2000. Analisis Krisis Perbankan Nasional: Catatan Kolom Demi Kolom. Penerbit Harian Kompas.
[1] “Kapolri Diminta Usut Pencairan Uang Tommy.” http//www.antara.co.id.
(Diakses: Sabtu, 5 Mei 2007. 20:00)

[2] Mubyarto, 2000, Perekonomian Indonesia: Masalah dan Kebijakan Kontemporer, hal. 78.
* Menurut Undang-Undang, Nasabah Penyimpan adalah nasabah yang menempatkan dananya di bank dalam bentuk simpanan berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah.

**Menurut Undang prinsip syariah atau yang dipersamakan dengan itu, berdasarkan perjanjian bank dengan nasa-Undang, Nasabah Debitur adalah nasabah yang memperoleh fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan bah yang bersangkutan.

[3] Rimsky K. Judisseno.Sistem Moneter dan Perbankan di Indonesia, 2002. hal. 123-124.
* Prinsip Know Your Customer merupakan prinsip yang diterapkan bank untuk mengetahui identitas nasabah, memantau kegiatan nasabah, termasuk pelaporan transaksi yang mencurigakan.
**Pengaplikasian langkah-langkah terdiri dari memasukkan data yang akurat ke dalam formulir untuk transfer dana elektronik dan pesan, memelihara informasi dari pembayaran berantai, membuat perbaikan keamanan untuk mentransfer dana yang tidak lengkap datanya.

[4] Perbankan dan Upaya Pemberantasan Korupsi, artikel Muad’z Fahmi (anggota KPK), Media Indonesia. 28 September 2006.
[5] “ICW Desak Polri Usut Kasus Uang Pejabat Dephuk dan HAM.” http//www.republika.co.id.
(Diakses: Sabtu, 5 Mei 2007. 20:05)
[6] Perbankan Dan Upaya Pemberantasan Korupsi, artikel Mu’Adz D’Fahmi.. Sumber: Media Indonesia, 27 September 2006.